Rabu, 28 Desember 2011


VERSTEHEN

Menurut Weber, sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dan menguraikannya dengan menerangkan sebab–sebab tindakan tersebut. Dengan demikian, yang menjadi inti dari sosiologi adalah arti yang nyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan–alasan subyektif. Itulah yang kemudian menjadi pokok penyelidikan Max Weber dan disebutnya sebagai Verstehende Sociologie. verstehen merupakan kata dari bahasa Jerman yang berarti pemahaman. Dalam hal ini verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha mengerti dan memahami makna yang mendasari dan mengitari peristiwa atau fenomena sosial dan historis. Pendekatan ini bertolak pada gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.
Pemakaian istilah verstehen ini secara khusus oleh Weber digunakan dalam penelitian historis terhadap metodologi sosiologi kontemporer yang paling banyak dikenal dan paling controversial. Kontroversi sekitar konsep verstehen dan beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Seperti dikemukakan Thomas Burger “Weber tidak utuh dan konsisten dengan pernyataan metodologisnya” (1976: Hekman, 1983: 26). Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar mengulangi gagasan-gagasannya yang pada zamannya terkenal dikalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi, seperti ditegaskan di atas Weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologisnya.
Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya yang berasal dari bidang yang dikenal dengan Hermeneutika (Martin, 2000; Pressler dan Dasilva, 19996). Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah untuk memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya (Wilhelm Dilthey) berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial :
Ketika kita sadar bahwa metode historis tidak lain adalah metode interpretasi klasik yang diterapkan pada tindakan-tindakan ketimbang pada teks, metode yang bertujuan mengidentifikasikan desain manusia, ‘makna’ di balik peristiwa-peristiwa yang dapat diamati, maka kita tidak akan kesulitan untuk menerima bahwa metode ini pun dapat diterapkan pada interaksi manusia sebagaimana pada actor individu. Dari sudut pandang ini seluruh sejarah adalah interaksi, yang harus ditafsirkan sebagai rencana lain dari berbagai actor.
                                                                                                            (lachman, 1971: 20)
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Weber berusaha menggunakan perangkat hermeneutika untuk memahami actor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia.
Satu kesalahpahaman yang sering terjadi terkait dengan konsep verstehen adalah bahwa verstehen hanya dipahami sekedar sebagai ‘intuisi’ oleh peneliti. Banyak kritikus melihatnya sebagai metodologi riset yang yang ‘lunak, irassional, dan subjektif’. Namun, secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya melibatkan intuisi, simpati, atau empati (1903-17/1949). Baginya, verstehen merupakan metodologis yang konsepnya melibatkan penelitian sistematis dan ketat serta bukan sekedar “merasakan” teks atau fenomena sosial. Dengan kata lain, bagi Weber (1921/1968) verstehen adalah prosedur studi yang rasional.
P.A. Munch(1975)  beranggapan bahwa verstehen melibatkan dua pendekatan, yaitu:
1. Mengidentifikasikan pemahaan tindakan sebagaimana yang dikehendaki oleh sang actor dan
2. Mengenali konteks yang melingkupinya dan yang digunakan untuk memahaminya.
Beragam penafsiran atas verstehen sejatinya membantu kita untuk memahami mengapa Weber begitu penting dalam sosiologi. Namun, karena ada berbagai perbedaan penafsiran tentang verstehen maka perspektif teoritis yang mempengaruhinya pun berlainan. Sedangkan seyogyanya kita dapat menarik kesimpulan tentang verstehen berdasarkan karya Weber. Karya utamanya adalah bukan merupakan pernyataan programatis tentang metodologi, melainkan karya yang yang seharusnya kita pandang sebagai informasi paling dapat diandalkan perihal apa yang dimaksud Weber dengan verstehen dan perangkat metodologis lainnya. Seperti kita ketahui bahwa frocus Weber pada konteks budaya dan sosio-struktural dari tindakan membawa kita pada pandangan bahwa verstehen adalah alat bagi analisis fenomena sosial level makro.  
Sumber Referensi:
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi dari teori sosiologi klasik hingga perkembangan mutakhir teori sosial post modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

TEORI PEMBANGUNAN

Teori pembangunan merupakan teori-teori yang berusaha menyelesaikan masalah-masalah pembangunan ekonomi di berbagai negara. Teori Pembangunan meliputi pembangunan di negara-negara dunia ketiga dan negara-negara adikuasa. Teori pembangunan yang ada di negara dunia ketiga, tentunya berbeda dengan yang ada di negara adikuasa.
Teori pembangunan dunia ketiga merupakan teori-teori yang berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi negara-negara miskin atau negara-negara berkembang, dalam sebuah dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan dan militer negara-negara adikuasa atau negara-negara industri maju.
Teori pembangunan memiliki tiga kelompok kajian: Pertama, kelompok Teori Modernisasi, teori ini menekankan pada faktor manusia dan nilai-nilai budayanya sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. pembangunan di Indonesia. Kedua, kelompok teori Ketergantungan. Teori ini merupakan reaksi terhadap Teori Modernisasi, yang dianggap kurang mencukupi, bahkan menyesatkan. Ketiga, yaitu kelompok teori yang merupakan reaksi terhadap teori-teori Ketergantungan. Rostow membagi proses pembangunan dalam lima tahap :
1). Masyarakat Tradisional
2). Prakondisi untuk Lepas Landas
3). Lepas Landas
4). Bergerak ke Kedewasaan
5). Zaman Konsumsi Masal yang Tinggi

Mc. Clelland adalah seorang ahli psikologi social. Ia tertarik pada masalah pembangunan karena melihat adanya kemiskinan dan keterbelakngan pada banyak masyarakat dunia. Konsep terkenal yang dikemukakan Mc. Clelland adalah need for achievement, yaitu kebutuhan atau dorongan untk berprestasi. Konsep ini sering di singkat dengan sebutan n-Ach. Orang dengan n-Ach tinggi, yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi, mengalami kepuasan bukan karena mendapat imbalan dari hasil kerjanya, tetapi karena hasil kerja tersebut dianggapnya sangat baik. Ada kepuasan batin yang ia peroleh saat ia bias menyelesaikan pekerjaannya dengan sempurna, sehingga imbalan material menjadi faktor sekunder. Menurutnya bila dalam masyarakat ada banyak orang dengan n-Ach tinggi, maka bisa diharapkan masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Agar konsepnya tidak sia-sia, Mc. Clellan melakukan penelitian sejarah, mempelajari dokumen-dokumen kesusasteraan dari zaman Yunani Kuno seperti puis, drama, pidato penguburan , naskah yang ditulis nahkoda kapal, kisah epic, dll. Karya-karya itu dinilai oleh ahli yang netral, bila dalam karya tersebut terdapat optimisme, semangat yang tinggi, dan ada keinginan untuk mengubah nasib, maka n-Ach yang ada tinggi, dan sebaliknya.
Dari data dan hasil penelitian ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu didahului oleh n-Ach yang tinggi dalam karya sastra dimasa itu. Bila n-Ach yang ada rendah, maka pertumbuhan ekonominya juga menurun. Dari penelitian-penelitiannya yang lain juga diperoleh hasil yang sama tentang n-Ach.
Mc. Clelland berkesimpulan bahwa n-Ach ini merupakan semacam virus yang dapat ditularkan, dan n-Ach bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan sesuatu yang harus di tumbuhkan, tempat yang paling baik untuk menumbuhkan n-Ach ini adalah lingkungan keluarga yaitu melalui orang tua. Bisa dimulai dengan memberikan cerita-cerita sebelum tidur yang baik, yang akan menumbuhkan n-Ach anak.
Sumber Referensi:
Budiman Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia





PERILAKU KORUPSI



Korupsi merupakan suatu perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi, maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi merupakan masalah lama di Indonesia, dan sudah diketahui umum bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia.  Sebagai sebuah Negara berkembang maka keadaan ini tentu sangat menyedihkan. Mereka yang duduk di pemerintahan  mulai dari wakil rakyat di tingkat bawah hingga atas hamper tidak ada yang benar0benar bersih dari korupsi. Berbagai macam lembaga dunia telah melakukan berbagai macam survey  terkait masalah korupsi, dan Indonesia selalu masuk dalam urutan atas Negara dengan korupsi tinggi.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
1.       Perbuatan melawan hukum.
2.       Penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan, kesempatan, atau sarana.
3.       Memperkaya diri sendiri, orangl ain, atau korporasi.
4.       Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
1.       Member atau menerima hadiah atau janji (penyuapan)
2.       Penggelapan dalam jabatan
3.       Pemerasan dalam jabatan
4.       Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara)
5.       Gratifikasi (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara)
Dalam menangani masalah korupsi, pemerintah dapat melakukan tindakan secara preventive dan represif. Tindakan preventive dapat dilakukan untuk menangani tindakan korupsi antara lain:
1.       Membangu dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan perusahaan atau milik Negara.
2.       Mengusahan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan  pegawai saling menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3.       Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah harta, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan Negara.
4.       Menumbuhkan pemahaman dan kebudayayn politik  yang terbuka untuk control, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalah gunakan.

Sedangkan tindakan represif yang dapat dilakukan untuk mennaggulangi masalah korupsi antara lain:
1.       Perlu penayangan wajah para koruptor pada media massa seperti Koran dan televise.

2.       Pencatatan ulang terhadap kekayaan para pejabat.

3.       Menindak dengan sanksi tegas terhadappara pelaku korupsi agar mereka merasa jera.


Korupsi yang terjadi di Indonesia  seolah sudah mengakar begitu kuat sehingga begitu sulit ditangani. Dan korupsi akan semakin sulit ditangani ketika  dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintahan ditingkat atas yang memiliki kekuasaan dan hak-hak yang melindunginya, atau juga bila dilakukan secara bersama-sama dan melibatkan suatu instansi tertentu. Oleh karenanya dubutuhkan kerjasama dari semu pihak untuk bias menuntaskan masalah korupsi ini. Penanganan yang dilakukan juga harus serius  dan benar-benar dipantau dengan baik oleh semua pihak. Beberapa solusi lain meliputi:
1.       Membuat aturan perundang-undangan.
2.       Setiap instansi yang saling terkait selalu berkomunikasi dengan baik karena dalam sebuah Negara harus ada kerjasama, juga agar bias saling mengawasi.
3.       Melakukan pengawasan yang ketat terhadap keuangan Negara.
4.       Ada transparasi yang jelas tentang dana-dana yang perlu diketahui oleh rakyat.
5.       Tidak membiarkan terbukanya suatu kesempatan korupsi.
6.       Penerapan sanksi secara tegas dan member kebebasan pers termasuk dalam masalah korupsi.

Sumber referensi:
Smith, Anthony.D.2003.Nasionalisme.Jakarta:Erlangga.

KESUKUBANGSAAN DAN INTREGASI

Suku bangsa adalah suatu kelompok sosial atau kolektifa yang sadar memiliki suatu kebudayaan dan sering ditandai oleh adanya suatu bahasa. Sebagi suatu kelompok, suatu suku bangsa ada yang terbagi menjadi sub suku bangsa dengan latar belakang variasi kebudayaan atau logat bahasa, dimana kebudayaan tersebut bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar, misalnya oleh seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau lainnya dengan metode-metode analisa ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan bersangkutan itu sendiri. Dengan demikian kebudayaan yang berkembang di masing-masing suku bangsa, memiliki keunikan dan ciri khasnya masing-masing tergantung bagaimana masyarakat itu sendiri.
Suku bangsa juga bisa dibedakan karena sistem klen yang dianutnya.
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berratus-ratus suku bangsa ini secara garis besar bisa digolongkan dalam tiga sisyem klen, yaitu:
1.    Bilateral, yang menganggap bahwa orang-orang yang mempunyai leluhur ditarik dari pihak ibu maupun ayah adalah seketurunan.
2.    Patrilineal, yang menganggap keturunan dari leluhur-leluhur pihak ayah atau laki-laki sajalah yang digolongkan sebagai kerabat keturunan.
3.    Matrilineal, yang menganggap keturunan dari leluhur dari pihak ibu sajalah yang digolonggkan sebagai kerabat seketurunan.
Di Indonesia suku bangsa yang secara konsisten menganut salah satu dari tiga sistem tersebut hanya suku bangsa Batak di Sumatera Utara yang menganut sistem matrilineal, dan suku bangsa Minangkabau di Sumatera Barat yang menganut sistem matrilineal. Suku-suku bangsa lain umumnya menganut sistem bilateral, walaupun dalam hal-hal tertentu mereka bisa meninggalkan tata nilai yang digariskan oleh sistem tersebut.
Suku-suku bangsa di Indonesia
Klasifikasi dari aneka warna suku bangsa di wilayah Indonesia biasanya masih berdasarkan sistem lingkaran-lingkaran hukum adat yang mula-mula disusun oleh Van Vollenhoven, ia membagi wilayah hukum adat di Indonesia menjadi 19 daerah:
1.       Aceh
2.       Gayo-Alas dan Batak
2a. Nias dan Batu
3.       Minagkabau
3a. Mentawai
4.       Sumatera Selatan
4a. Enggano
5.       Melayu
6.       Bangka dan Biliton
7.       Kalimantan
8.       Samir Talaut
9.       Gorontalo
10.    Toraja
11.   Sulawesi Selatan
12.   Ternate
13.   Ambon Maluku
13a. Kepulauan Barat Daya
14.   Irian
15.   Timor
16.    Bali dan Lombok
17.   Jawa Tengah dan Timur
18.   Surakarta dan Yogyakarta
19.    Jawa Barat
Pengertian dan Bentuk-bentuk Integrasi
Integrasi dalam kebudayaan adalah proses penyesuaian antara unsur kebudayaan yang saling berbeda, sehingga mencapai suatu keserasian dalam kehidupan masyarakat. Namun bukan berarti integrasi nasional menghapuskan identitas lokalitas, identitas etnik, menghapuskan jati diri kelompok etnik, sebab keberagaman identitas etnik merupakan aset bangsa, aset budaya bangsa yang dirumuskan dalam Bhineka Tunggal Ika. Namun yang perlu dijaga adalah volume identitas etnik/ jati diri kelompok ini harus lebih kecil dari kesadaran berbangsa, bangsa Indonesia. Kondisi seperti ini harus dijaga, sebab kalau kesadaran lokalitas kebanggaan etnik lebih besar dan lebih dominan dari kesadaran berbangsa sebagai bangsa Indonesia maka akan berakibat fatal, dan hal ini akan melahirkan faham separatisme, sukuisme. Bahwa suku merekalah yang lebih unggul, lebih berbudaya, lebih cerdas, dan karenanya akan melahirkan anggapan bahwa suku merekalah yang pantas keluar sebagai pemimpin suku ini.
Bentuk-bentuk Integrasi:
1.       Asimilasi, yaitu pembauran kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli.
  1. Akulturasi, yaitu penerimaan sebagian unsur-unsur asing tanpa menghilangkan kebudayaan asli.
Faktor-Faktor Pendorong
A. Faktor Internal :
  • kesadaran diri sebagai makhluk sosial
  • tuntutan kebutuhan
  • jiwa dan semangat gotong royong
B. Faktor External :
  • tuntutan perkembangan zaman
  • persamaan kebudayaan
  • terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama
  • persaman visi, misi, dan tujuan
  • sikap toleransi
  • adanya kosensus nilai
  • adanya tantangan dari luar

Syarat Berhasilnya Integrasi Sosial

1. Untuk meningkatkan Integrasi Sosial, Maka pada diri masing-masing harus mengendalikan perbedaan/konflik yang ada pada suatu kekuatan bangsa dan bukan sebaliknya.
2. Tiap warga masyarakat merasa saling dapat mengisi kebutuhan antara satu dengan yang lainnya.

 Sumber Referensi:
1.      Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
2.      Usman, Gazali, dkk. 1996/1997. Integrasi Nasional Suatu Pendekatan Budaya Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: CV. Prisma Muda.