Rabu, 11 Januari 2012

Transportasi Publik


Bis kota adalah sarana angkutan umum (public transportations mean) atau kendaraan penumpang umum yang difungsikan untuk melayani pergerakan penduduk dari suatu kawasan ke kawasan lain di dalam suatu wilayah kota dan proses perjalanannya diatur menurut trayek atau rute tertentu dan pengguna angkutan umum tersebut harus membayar ongkos sesuai dengan tarif perjalanan (Khisty : 2003). Bis kota yang ditinjau dalam perencanaan halte dengan teluk bis ini menurut standar spesifikasi kendaraan penumpang umum dari Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Bina Marga adalah bis dengan jumlah roda dua as dan berkapasitas penumpang maksimum 60 orang. Menurut Pedoman Teknis Perekayasaan Tempat Perhentian Kendaraan Umum (Dirjen Perhubungan Darat : 1996), halte adalah tempat perhentian kendaraan penumpang umum (TPKPU) untuk menurunkan atau menaikkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan, sedangkan teluk bis (bus bay) adalah bagian perkerasan jalan tertentu yang diperlebar dan termasuk dari halte yang direncanakan untuk menampung beberapa bis kota yang masuk pada jalur halte untuk menaikkan atau menurunkan penumpang sehingga tidak mengganggu arus lalu lintas pada jalan di dekat halte tersebut.
 
Tujuan dari perekayasaan tempat perhentian kendaraan penumpang umum (TPKPU) adalah untuk:
1. Menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu lintas
2. Menjamin keselamatan bagi pengguna angkutan umum
3. Menjamin kepastian keselamatan untuk menaikkan dan atau menurunkan penumpang
4. Memudahkan penumpang dalam melakukan perpindahan moda angkutan umum atau bis 
 
Sedangkan persyaratan umum tempat perhentian kendaraan penumpang umum (TPKPU) adalah :
1. Berada di sepanjang rute angkutan umum / bis,
2. Terletak pada jalur pejalan kaki dan dekat dengan fasilitas pejalan kaki
3. Diarahkan dekat dengan pusat perdagangan, perkantoran, pendidikan dan pemukiman,
4. Dilengkapi dengan rambu petunjuk, dan tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas.
Maka dengan dasar no.2 dari persyaratan umum tempat perhentian kendaraan penumpang umum (TPKPU) di atas, suatu halte perlu didesain khusus agar dapat sinergis terhadap mobilitas pejalan kaki yang akan menggunakan kendaraan transportasi umum.
 
Perencanaan halte dengan teluk bis ini dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah lalu lintas perkotaan terutama di kota dengan volume lalu lintas yang padat dan mempunyai tingkat konflik yang tinggi antara bis kota dan kendaraan-kendaraan lain. redesain halte bis yang sudah ada dengan tambahan teluk bis, diharapkan dapat meningkatkan kinerja kapasitas jalan dan berkontribusi penting untuk mensinergikan antara kawasan jalur pejalan kaki dan fasilitas transportasi publik

Pasar Tradisional vs Pasar Modern

Pasar Tradisional vs Pasar Modern
Seringkali pasar didefinisikan sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk menjajakan barang dagangannya secara langsung untuk melakukan transaksi jual beli dalam waktu tertentu. Namun, definisi tersebut kurang tepat karena seiring dengan kemajuan teknologi seperti internet, alat komunikasi telepon seluler atau melalui surat. Transakasi jual beli dapat pula dilakukan sehingga penjual dan pembeli tidak perlu bertemu secara langsung untuk melakukan jual beli mereka dapat dengan jarak jauh melakukan penjualan maupun pembelian. Oleh sebab itu, dalam proses pembentukan pasar hanya dibutuhkan adanya penjual dan pembeli dan barang yang diperjualbelikan serta adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pasar tradisional memiliki keunggulan bersaing secara alamiah yang tidak dimiliki oleh pasar modern. Yakni keunggulan dari segi lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang dijual, harga yang relatif murah, adanya sistem tawar menawar sehingga menimbulkan keakraban antara penjual dan pembeli. Selain memiliki keunggulan secara alamiah, pasar tradisional juga memiliki berbagai kelemahan yakni, faktor tampilan pasar, atmosfir (udara atau suasana), tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.  kondisi yang seperti ini dapat dijadikan salah satu alasan konsumen untuk beralih dari pasar tradisional ke pasar modern yang mampu memberikan kenyamanan, keamanan, dan keleluasaan berbelanja yang tidak dapat diperoleh di pasar tradisional.
            Makna dari pasar modern ini tidak jauh berbeda dari pasar tradisional, yang membedakannya dalah dalam bertransakasi antara penjual dengan pembeli tidak perlu dilakukan secara langsung melainkan pembeli cukup dengan melihat label harga yang tercantum dalam barang (barkode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual di pasar modern ini selain bahan makanan juga menjual barang yang dapat tahan lama. Contoh dari pasar modern adalah pasar swalayan dan supermarket, dan minimarket.

Untuk saat ini pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat yakni dengan mudah dijumpai berbagai jenis pasar modern yang mampu membuka pelayanan toko sampai 24 jam dan berbagai jenis pasar modern tersebut hampir di seluruh Indonesia telah ada. Keberadaan pasar modern di Indonesia kemungkinan besar akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan dapat menjadi tantangan keberadaan pasar tradisional. Pasar modern yang pada dasarnya dimiliki oleh pengusaha asing dan para investor lokal dapat dengan mudah menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil.
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi persaingan antara pasar tradisional dengan pasar modern adalah dengan langkah nyata dari para pedagang pasar tradisional dengan mempertahankan pelanggan dan keberadaan usahanya. Para pedagang di pasar tradisional harus mampu mengembangkan strategi untuk memenuhi kebutuhan atau tuntutan konsumen sebagaimana yang telah dilakukan oleh pasar modern. Hal tersebut setidaknya dapat dilakukan oleh para pedagang di pasar tradisional secara optimal. Karena bagi para konsumen nilai uang tidak begitu dijadikan permasalahan apabila tempat untuk berbelanja lebih menjanjikan kemudahan dan kenyaman bagi para konsumen.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat kita. Tidak hanya di kota metropolitan tetapi sudah merambah sampai kota kecil di tanah air. Sangat mudah menjumpai minimarket, supermarket bahkan hipermarket di sekitar tempat tinggal kita. Tempat-tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya. Namun di balik kesenangan tersebut ternyata telah membuat para peritel kelas menengah mengeluh. Mereka dengan tegas memprotes ekspansi yang sangat agresif dari peritel kelas besar itu. Protes yang dilakukan para kelas menengah berkantong tipis tersebut sebenarnya lebih ditujukan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai pengambil kebijakan untuk mengatur persaingan yang lebih efektif.
Keberadaan pasar, khususnya pasar tradisional, merupakan salah satu indikator paling nyata kegiatan ekonomi masyarakat di suatu wilayah. Pemerintah harus konsen terhadap keberadaan pasar tradisional tersebut sebagai salah satu sarana publik yang mendukung kegiatan ekonomi masyarakat. Perkembangan jaman dan perubahan gaya hidup yang dipromosikan begitu hebat oleh berbagai media telah membuat eksistensi pasar tradisional menjadi sedikit terusik. Namun demikian, pasar tradisional ternyata masih mampu untuk bertahan dan bersaing di tengah serbuan pasar modern dalam berbagai bentuknya.

Rabu, 28 Desember 2011


VERSTEHEN

Menurut Weber, sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dan menguraikannya dengan menerangkan sebab–sebab tindakan tersebut. Dengan demikian, yang menjadi inti dari sosiologi adalah arti yang nyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan–alasan subyektif. Itulah yang kemudian menjadi pokok penyelidikan Max Weber dan disebutnya sebagai Verstehende Sociologie. verstehen merupakan kata dari bahasa Jerman yang berarti pemahaman. Dalam hal ini verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha mengerti dan memahami makna yang mendasari dan mengitari peristiwa atau fenomena sosial dan historis. Pendekatan ini bertolak pada gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.
Pemakaian istilah verstehen ini secara khusus oleh Weber digunakan dalam penelitian historis terhadap metodologi sosiologi kontemporer yang paling banyak dikenal dan paling controversial. Kontroversi sekitar konsep verstehen dan beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Seperti dikemukakan Thomas Burger “Weber tidak utuh dan konsisten dengan pernyataan metodologisnya” (1976: Hekman, 1983: 26). Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar mengulangi gagasan-gagasannya yang pada zamannya terkenal dikalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi, seperti ditegaskan di atas Weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologisnya.
Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya yang berasal dari bidang yang dikenal dengan Hermeneutika (Martin, 2000; Pressler dan Dasilva, 19996). Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah untuk memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya (Wilhelm Dilthey) berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial :
Ketika kita sadar bahwa metode historis tidak lain adalah metode interpretasi klasik yang diterapkan pada tindakan-tindakan ketimbang pada teks, metode yang bertujuan mengidentifikasikan desain manusia, ‘makna’ di balik peristiwa-peristiwa yang dapat diamati, maka kita tidak akan kesulitan untuk menerima bahwa metode ini pun dapat diterapkan pada interaksi manusia sebagaimana pada actor individu. Dari sudut pandang ini seluruh sejarah adalah interaksi, yang harus ditafsirkan sebagai rencana lain dari berbagai actor.
                                                                                                            (lachman, 1971: 20)
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Weber berusaha menggunakan perangkat hermeneutika untuk memahami actor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia.
Satu kesalahpahaman yang sering terjadi terkait dengan konsep verstehen adalah bahwa verstehen hanya dipahami sekedar sebagai ‘intuisi’ oleh peneliti. Banyak kritikus melihatnya sebagai metodologi riset yang yang ‘lunak, irassional, dan subjektif’. Namun, secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya melibatkan intuisi, simpati, atau empati (1903-17/1949). Baginya, verstehen merupakan metodologis yang konsepnya melibatkan penelitian sistematis dan ketat serta bukan sekedar “merasakan” teks atau fenomena sosial. Dengan kata lain, bagi Weber (1921/1968) verstehen adalah prosedur studi yang rasional.
P.A. Munch(1975)  beranggapan bahwa verstehen melibatkan dua pendekatan, yaitu:
1. Mengidentifikasikan pemahaan tindakan sebagaimana yang dikehendaki oleh sang actor dan
2. Mengenali konteks yang melingkupinya dan yang digunakan untuk memahaminya.
Beragam penafsiran atas verstehen sejatinya membantu kita untuk memahami mengapa Weber begitu penting dalam sosiologi. Namun, karena ada berbagai perbedaan penafsiran tentang verstehen maka perspektif teoritis yang mempengaruhinya pun berlainan. Sedangkan seyogyanya kita dapat menarik kesimpulan tentang verstehen berdasarkan karya Weber. Karya utamanya adalah bukan merupakan pernyataan programatis tentang metodologi, melainkan karya yang yang seharusnya kita pandang sebagai informasi paling dapat diandalkan perihal apa yang dimaksud Weber dengan verstehen dan perangkat metodologis lainnya. Seperti kita ketahui bahwa frocus Weber pada konteks budaya dan sosio-struktural dari tindakan membawa kita pada pandangan bahwa verstehen adalah alat bagi analisis fenomena sosial level makro.  
Sumber Referensi:
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi dari teori sosiologi klasik hingga perkembangan mutakhir teori sosial post modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.